Senin, 22 Agustus 2011

TATA PERAYAAN EKARISTI (TPE) 2005 & Tanya Jawab Tentang Liturgi


  1. 1. PROSESI : PERARAKAN MASUK
  2. a. Saat : Imam dan Pelayan dari sakristi menuju altar, “pada Hari Raya” masuk dari tengah/depan bagian Altar dan (diiringi dengan Nyanyian Pembuka)
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berarak, B...erdiri
  1. b. Saat : Setiba Imam dan Pelayan di depan altar
  • Sikap tubuh Umat : Membungkuk, Berdiri
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Membungkuk, Berdiri
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Membungkuk, Berdiri

  1. 2. PROSESI : TANDA SALIB & SALAM
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri, Tanda Salib
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri, Tanda Salib
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri, Tanda Salib

  1. 3. PROSESI : PENGANTAR
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 4. PROSESI : TOBAT
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 5. PROSESI : KEMULIAAN
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.
  • Keterangan : Diucapkan seluruh Umat bersama-sama atau silih berganti antara umat dan Imam, bisa pula dinyanyikan oleh Koor dengan umat.

  1. 6. PROSESI : DOA PEMBUKAAN
  2. a. Saat “Marilah berdoa…”
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 7. PROSESI : BACAAN 1
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 8. PROSESI : MAZMUR
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 9. PROSESI : BACAAN 2
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 10. PROSESI : ALLELUYA/BAIT PENGANTAR INJIL
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 11. PROSESI : INJIL
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 12. PROSESI : HOMILI
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 13. PROSESI : SYAHADAT
  2. a. Saat : “Aku percaya…”
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.
  1. b.  “…Yang dikandung dari Roh Kudus, Dilahirkan oleh Perawan Maria…”
  • Sikap tubuh Umat : Membungkuk, Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Membungkuk, Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Membungkuk, Berdiri.
  • Keterangan : Pada Hari Raya Natal : Berlutut.

  1. 14. PROSESI : DOA UMAT
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 15. PROSESI : PERSIAPAN PERSEMBAHAN
  2. a. Saat : Kolekte
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.
  1. b. Saat : Mengantar bahan persembahan
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.
  • Keterangan : Berdiri, bila Umat didupai
  1. c. Saat : : Berdoalah, saudara2, supaya…”
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 16. PROSESI : DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 17. PROSESI : DIALOG PEMBUKA PREFASI
Saat : “Tuhan sertamu….”
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.
  • Keterangan : Lonceng/Gong/Bel dibunyikan.

  1. 18. PROSESI : PREFASI
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 19. PROSESI : KUDUS
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 20. PROSESI : DOA SYUKUR AGUNG
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut (atau Berdiri – bila tidak ada tempat berlutut).
  1. a. Saat : “….Agar bagi kami menjadi Tubuh dan Darah …..”
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut.
  • Keterangan : Lonceng/Gong/Bel dibunyikan
  1. b. Saat : Imam memperlihatkan Hosti/Piala dengan mengangkatnya
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut, Memandang Hosti/Piala.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri, Memandang Hosti/Piala..
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut, Memandang Hosti/Piala.
  1. c. Saat : Imam meletakkan Hosti/Piala dan berlutut
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut, Menundukkan Kepala.
  •  Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri, Menundukkan Kepala.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut, Menundukkan Kepala.

  1. 21. PROSESI : BAPA KAMI
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.
  • Keterangan : Prodiakon menyiapkan diri di Panti Imam.

  1. 22. PROSESI : EMBOLISME
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 23. PROSESI : DOA DAMAI
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 24. PROSESI : ANAK DOMBA ALLAH
Saat : “Anak Domba Allah….”
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut.
  • Keterangan : Prodiakon berdiri di Panti Imam.

  1. 25. PROSESI : PERSIAPAN KOMUNI
Saat : “Inilah Anak Domba Allah…”
  • Sikap tubuh Umat : Berlutut.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berlutut.
  • Keterangan : Prodiakon berdiri di Panti Imam.

  1. 26. PROSESI : MENERIMA TUBUH DAN DARAH KRISTUS (KOMUNI)
  • Sikap tubuh Umat : Berarak dengan sikap kedua tangan dikatupkan di depan dada, Berlutut untuk berdoa, Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berarak dengan sikap kedua tangan dikatupkan di depan dada, Duduk untuk berdoa.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berarak dengan sikap kedua tangan dikatupkan di depan dada, Berlutut untuk berdoa, Duduk.
  • Keterangan : Prodiakon membagi Hosti.

  1. 27. PROSESI : SAAT HENING SESUDAH KOMUNI
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 28. PROSESI : DOA SESUDAH KOMUNI
Saat : “Marilah berdoa, ….”
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 29. PROSESI : PENGUMUMAN
  • Sikap tubuh Umat : Duduk.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Duduk.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Duduk.

  1. 30. PROSESI : BERKAT
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri, Membuat Tanda Salib.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri, Membuat Tanda Salib.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri, Membuat Tanda Salib.

  1. 31. PROSESI : PENGUTUSAN
  • Sikap tubuh Umat : Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Berdiri.

  1. 32. PROSESI : PERARAKAN KELUAR
Saat : Imam dan Pelayan menghormat altar, berarak meninggalkan ruang altar (diiringi Nyanyian Penutup)
  • Sikap tubuh Umat : Membungkuk, Berdiri.
  • Sikap tubuh Umat (apabila tanpa tempat berlutut di Aula) juga untuk Koor : Membungkuk, Berdiri.
  • Sikap tubuh Putra Altar/Putri Gereja dan Prodiakon : Membungkuk, Berarak.               
sumber http://www.imankatolik.or.id/

Artikel :
Berapa kali kita harus membuat tanda salib dalam Misa ?

Di depan kursinya, imam selebran membuat tanda salib bersama umat. Dengan lantang ia lagukan: ”Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Umat menyahut: ”Amin!” Inilah tanda salib pertama dalam Misa. Ritual Misa pun maju lagi selangkah. Berapa kali sebenarnya kita harus membuat tanda salib dalam Misa ?

Salib, nama Allah
Dalam alfabet Ibrani kuno huruf Tau (T) berbentuk salib, maka huruf yang mengacu pada Kitab Yehezkiel 9:4 itu dianggap Origenes sebagai prediksi untuk tanda salib yang diterakan pada dahi orang Kristen. Tertulianus mengajarkan bahwa orang Kristen hendaknya membuat tanda salib pada dahi setiap kali hendak melakukan kegiatan. Dalam perkembangan selanjutnya, perayaan liturgi sakramental dan non-sakramental lainnya juga menggunakan tanda salib.
Ritual ini sebenarnya mengungkapkan peristiwa penting dari iman kristiani dalam satu rangkuman gerak. Tanda salib pada bagian tubuh memberi daya bagi seluruh tubuh. Tubuh Kristus yang tersalibkan menyentuh tubuh kita dan menyiapkan tubuh kita untuk mengalami hal yang sama dengan Tubuh Kristus. Nama Allah Bapa, Putra, Roh Kudus disebutkan untuk menyatakan bahwa misteri Allah Tritunggal telah diwahyukan melalui kematian Yesus di kayu salib. Selama Misa berlangsung akan terlihat lebih rinci lagi bagaimana kurban salib itu dihadirkan kembali. Tubuh kita pun akan didekatkan dan dipersatukan dengan Tubuh Sang Tersalib itu.
Frase ”dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” dari Yesus sendiri, Ia ucapkan sebelum naik ke surga, ketika mengutus para Rasul. Allah yang Esa itu mempunyai satu nama: ”Bapa, Putra, Kudus.” Itulah nama utuh Allah. Terjemahan ”dalam nama” dapat dipahami sebagai ”ke dalam nama”, sehingga mengingatkan kita pada ritus baptis. Kita dimasukkan ”ke dalam nama Bapa, Putra, Roh Kudus” ke dalam kehidupan Ilahi. Setiap kali membuat tanda salib dan sekaligus mewartakan nama Allah Trinitas, kita sedang mengenangkan pembaptisan dan mau selalu kembali untuk hidup bersama Allah.

Jumlah dan jenis
Dalam Misa yang lazim terdapat tujuh kali tanda salib, baik yang dilakukan oleh umat bersama imam maupun oleh imamnya sendiri. Di samping tanda Salib Trinitaris (menyebut nama Allah Tritunggal), masih ada juga jenis yang lain.
Kapan sajakah ketujuh tanda salib itu dilakukan dalam Misa? Rinciannya: Membuat tanda salib besar oleh imam bersama dengan umat pada Ritus Pembuka untuk diri masing-masing, tiga kali tanda salib kecil pada dahi-mulut-dada sebelum mendengarkan Injil, dan berkat oleh imam dengan tanda salib besar untuk umat dan umat membuat pada dirinya sendiri pada Ritus Penutup.
Imam sendirian juga melakukan tanda salib kecil untuk Kitab Injil dan berkat dengan tanda salib untuk roti-anggur pada waktu konsekrasi. Jadi, ada dua jenis tanda salib: [1] lima kali oleh imam bersama umat dengan rumus khusus: dua yang Trinitaris (pada Ritus Pembuka dan Penutup); dan tiga yang bukan (sebelum mendengarkan Injil); serta [2] dua kali oleh imam saja tanpa rumus khusus (pada bagian Injil yang akan dimaklumkan dan berkat untuk roti-anggur).
Misa adalah suatu bentuk doa bersama, yang merangkai beberapa ritus, yang menyatukan simbol, kata, gerak, dan lagu. Karena Misa adalah doa yang paling istimewa, wajarlah jika diperindah dengan banyak unsur yang tak ditemukan dalam bentuk doa lainnya. Sebagai doa, kita pun mengawali dan mengakhiri Misa dengan membuat tanda Salib Trinitaris. Imam mewartakan ucapan Tuhan Yesus. Umat pun menyetujuinya. Tanggapan AMIN adalah ”hak suara” umat. Juga pada bagian-bagian lain dalam Misa. Jangan biarkan imam menyambarnya karena umat tak bergairah menanggapi ucapan Tuhan itu. Maka, jangan ragu; serukan AMIN itu dengan mantap dan gembira.

Christophorus H. Suryanugraha OSC

Artikel
"Homili Bukan Talk Show"
Jacobus Tarigan Pr


Dalam liturgi Katolik, khususnya dalam Perayaan Ekaristi, ada bagian homili setelah bacaan Injil. Dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, dipakai kata homili dan bukan khotbah. Homili diambil dari bahasa Yunani, homilia, yang berarti percakapan atau homileo, yang berarti bercakap-cakap.
Tujuannya adalah menanggapi bacaan liturgi, khususnya bacaan Injil,sebagai pengantar padaperayaan. Dalam homili, imam menyampaikan sapaan kepada umat untuk menyantap Sabda Allah. Homili mempertemukan umat dengan Allah dan sekaligus membangun iman jemaat. Oleh karena itu, sifat homili adalah biblis, liturgis, kerygmatis, dan dari hati ke hati. Homili memang sangat berbeda dengan khotbah dari agama-agama lain yang cenderung hanya memberikan nasihat-nasihat moralistis. Homili menjadi penting pula, karena hanya pada kesempatan itulah umat meningkatkan imannya di tengah kesibukan sehari-hari. Ditegaskan oleh Konsili Vatikan II: ”Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan misteri-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab Suci. Oleh karena itu, dalam Misa hari Minggu dan hari Raya Wajib yang dihadiri umat, homili jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat” (SC, 52). Bahwa homili adalah bagian integral dari perayaan liturgi, ditegaskan lagi, antara lain oleh Hukum Kanonik 767, PUMR No 65 dan Sacramentum Caritatis No 46: ”Homili adalah bagian dari kegiatan liturgis”. Jelaslah, untuk berhasil membawakan homili, pertama sekali imam harus sungguh menghayati Perayaan Ekaristi sambil didukung sebelumnya oleh renungan Kitab Suci secara pribadi, studi, dan doa. Namun tetap diingat, Kitab Suci yang ditafsir secara ilmiah maupun renungan pribadi, sangat berbeda ketika Kitab Suci itu disampaikan dalam homili sebagai kegiatan liturgis. Karena homili meneruskan Sabda Allah yang dibacakan dan didengarkan dalam liturgi, dan sekaligus menafsirkannya demi pertumbuhan iman umat yang berdoa dalam Perayaan Ekaristi. Sabda Allah dalam homili disantap oleh umat, menjadi bagian hidupnya, dan meresap ke dalam jiwa raganya. Oleh karena itu, homili hendaknya didukung oleh sikap doa. ”Jika tanpa pengalaman rohani pribadi akan Allah, terlebih dalam doa, setiap homili hanya akan menjadi suatu kata-kata kering, tanpa daya pewartaan dan hanyalah suatu teori kosong belaka” (Krispuwarna Cahyadi SJ, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal. 165). Dalam menyampaikan homili, cukup saja imam berdiri di mimbar. Homili disampaikan dengan bahasa kata, dengan sintaksis kalimat tunggal. Sintaksis kalimat majemuk bisa membingungkan dan mengaburkan maknanya. Bahasa kata bisa sedikit dibantu dengan bahasa badan (mimik dan pantomimik). Tidak perlu terlalu banyak gerak, apalagi mondar-mandir ke sana-kemari, sampai turun dari panti imam. Tidak perlu menggunakan LCD, karena homili bukan ceramah. Tidak perlu meniru cara ”talk show”, karena liturgi bukan untuk show. Tak perlu diganti dengan drama, karena bukan pentas seni. Homili dalam liturgi Katolik tidak sama dengan khotbah dalam kebaktian ekumenis dan sangat berbeda dengan khotbah Perayaan Idul Fitri. Hanya uskup, imam, dan diakon boleh menyampaikan homili. Berdirinya imam di mimbar sudah merupakan simbol tersendiri. Umat pun mendengarkan homili dengan sikap doa. Mereka merayakan Kristus yang hadir dan bersabda kepada mereka. Liturgi adalah tempat yang tepat untuk mendengarkan Sabda Tuhan. Dan, jika liturgi sungguh dihayati, maka sulit sekali umat memberikan evaluasiterhadap homili. Evaluasi terhadap homili setelah Misa, cenderung rasionalisasi. Maka, kita pun tidak menerima begitu saja setiap kritik negatif dari umat terhadap homili. Mungkin saja umat keliru membandingkan homili dengan khotbah dalam agama-agama lain. Mungkin saja umat tidak menempatkan homili sebagai bagian integral dalam Perayaan Ekaristi.

Keberhasilan homili adalah berkat kuasa Allah; bukan karena sesuai selera umat; bukan pula karena kehebatan public speaking seorang imam. Rasul Paulus mengingatkan: ”Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan bukti bahwa Roh berkuasa, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (I Kor. 2:4-5). Kalau imam menyampaikan homili dengan sikap doa dan umat pun mendengarkan homili sebagai doa, maka hasilnya adalah pujian dan syukur kepada Allah. Karena keberhasilan homili tidak terletak pada kehebatan seorang imam, tetapi pada kekuatan Allah.

Penulis adalah imam Praja Keuskupan Agung Jakarta


Tanya Jawab Seputar Tata Gerak Liturgi

1. CARA MEMBUAT TANDA SALIB YANG BENAR.
Jawaban :
Lebih umum menyentuh dada daripada perut/pusar. Secara historis memang demikian, dibuat dengan 3 jari dan menyentuh perut/pusar. Namun rubik (tata-cara liturgis) yang setidaknya diadaptasi dalam dokumen resmi Gereja sebelum Konsili Vatikan II, dan tetap umum sekarang adalah dengan menyentuh dada.
Dalam Missale Romanum (TPE) 1962, diberikan rubik demikian untuk membuat tanda salib :…“Seipsum benedicens, vertit ad se palmam manus dexterae, et omnibus illius digitis iunctis et extensis, a fronte ad pectus, et ab humero sinistro ad dexterum, signum crucis format.”
Dikatakan “…dahi, kemudian ‘pectus’, dan bahu kiri kemudian kanan.”  “pectus” adalah bahasa latin dari “dada”.

 2. PETUGAS LITURGI – DALAM MISA , LEWAT DI DEPAN TABERNAKEL HARUS BAGAIMANA ?
Jawaban :
Pada dasarnya hanya ingin mengatakan “tidak perlu berlutut/membungkuk berkali-kali tiap kali lewat di tabernakel atau Altar”. Misalnya para misdinar seringkali harus mondar-mandir melewati Altar/Tabernakel untuk tugasnya, mereka tidak perlu tiap kali lewat bungkuk/berlutut karena ini menganggu pemandangan. Begitu juga Imam dan petugas lain. Kalau seperti dalam kasus petugas pembaca, dua kali berlutut (saat hendak membaca dan sesudahnya) rasanya ini belum sampai pada tahap menganggu, jadi tidak perlu dipaksakan menuruti rubrik. Harap diperhatikan bahwa dalam penataan ruang Gereja di Roma (terutama yang berasal dari abad pertengahan, biasanya ambo (mimbar) berada di luar panti imam sehingga petugas pembaca tidak perlu lewat altar/tabernakel saat hendak membaca, penataan di Indonesia agak berbeda jadi aturan juga perlu menyesuaikan diri). Kalau liat Misa di Basilika St. Petrus, karena tidak ada tabernakel di panti imam, biasanya pembaca hanya membungkuk sedikit.

PUMR 274. Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah sujud. Oleh karena itu, berlutut dikhususkan untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Salib Suci yang digunakan d…alam Liturgi Jumat Agung sampai sebelum memasuki Misa Malam Paskah.
Dalam Misa, hanya tiga kali imam berlutut, yaitu pada saat konsekrasi sesudah memperlihatkan hosti dan sesudah menunjukkan piala, dan sebelum imam menyanbut Tubuh Kristus. Ketentuan-ketentuan khusus untuk Misa konselebrasi dipaparkan pada tempat yang bersangkutan (bdk.no.210-251).
Kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut.
Di luar perayaan Ekaristi, setiap kali lewat di depan Sakramen Mahakudus, orang berlutut, kecuali kalau mereka sedang dalam perarakan.
Para pelayan yang membawa salib perarakan atau lilin menundukkan kepala sebagai ganti berlutut.

3. SEBELUM DUDUK, UMAT BERLUTUT KE ARAH ALTAR ATAU TABERNAKEL ?
Jawaban :
Bagaimana pun kita mesti tahu apa yg menjadi central (pusat) dari sebuah bangunan gereja. Yang menjadi pusat dalam gereja adalah Altar (bukan tabernakel). Dalam gereja bisa tdk ada tabernakal tetapi mesti ada Altar. Itu mesti dipahami. Maka menurut paham liturgi, kita memberi hormat entah berlutut entah membungkuk di dalam gereja bukan terutama karena ada tabernakel yang adalah tempat penyimpanan hosti kudus. Tetapi karena adanya Altar tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil. Jadi bukan berarti kalau tidak ada tabernakel, maka cara penghormatan kita di dalam gereja mnjadi berkurang. Di banyak tempat (stasi) tdk tersedia tabernakel, jd bukan berarti kita tidak perlu berlutut di sana. Memperlakukan gereja mesti sama entah tanpa tabernakel atau dengan tabernakel. Pernah sy agak tersinggung melihat umat menghias gereja (kebetulan tdk ada tabernakel) untuk memasang hiasan natal di plafon mereka menggeser altar dan menginjaknya. Mereka memperlakukan altar seperti meja biasa dan dipakai jdi pijakan pengganti tangga. Bukankah altar itu ‘piring’ kita yg dari dalamnya kita langsung menerima Kristus? Maka untuk saya (bukan menyangkal pendapat teman yg pertama) altar itu menjadi lebih tinggi dari tabernakel.

4. PADA SAAT KONSEKRASI – BAGAIMANA SIKAP TUBUH?
Jawaban :
Kalau kita lihat petunjuk dalam PUMR :
43. Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi.
150…. Bila dianggap perlu, sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat. Demikian pula sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing. Kalau dipakai pedupaan seorang pelayan mendupai roti/piala pada saat diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing.
222. c. Bila dianggap baik, waktu mengucapkan kata-kata Tuhan {Inilah Tubuh-Ku …/ Inilah Darah-Ku }, para konselebran mengulurkan tangan kanan (dengan telapak ke atas) ke arah roti dan piala. Waktu hosti dan piala diperlihatkan, mereka memandangnya, kemudian menghormatinya dengan membungkuk khidmat.

Jadi sikap umat saat konsekrasi adalah:
a. (Sedapat mungkin) Berlutut. (43)
b. Saat roti dan anggur diangkat, umat memandangnya, kemudian membungkuk khidmat (222.c).
Sikap lain, seperti menyembah dll – adalah berasal dari sikap penghormatan dari budaya setempat.

5. MEMBUAT TANDA SALIB DENGAN AIR SUCI PADA SAAT MASUK dan KELUAR GEREJA
Jawaban :
1. Membuat tanda salib dgn air suci di (dekat) pintu gereja BUKAN-lah bagian INTEGRAL dari Liturgi. Itu hanyalah praktek2 DEVOSIONAL-POPULER yg bercorak mendukung penghayatan hidup beriman. Namun tetap saja itu ‘bukan wajib’.
2. SAKRAMEN PEMBAPTISAN SBG KONTEKS. Tanda salib dgn air kudus itu hanyalah sarana bantu untuk mengenangkan pembaptisan (dalam nama Bapa & Putra & Roh Kudus) yg dulu sudah pernah diterima. Di byk ‘gereja tua’ bejana baptis masih ditempatkan di dekat pintu masuk gereja. Bahkan, di tempat2 tertentu, kapel-pembaptisan dibangun di depan/luar gereja utama.
3. PEMAKNAAN-1 : PENGUDUSAN. Sakramen baptis bermakna membersihkan manusia dari dosa, mengangkat seseorang mjd putra/i Bapa, mjd anggota keluarga Bapa.
Pembaptisan mengangkat dan menguduskan manusia.
Mengingat akan pemaknaan ini maka tanda salib dgn air kudus ini dibuat ketika me-MASUK-i gedung gereja.
4. PEMAKNAAN-2 : PENGUTUSAN. Dgn menerima baptis, seseorang diteguhkan dan diutus untuk mewartakan pengampunan dan kebaikan2 Allah. Orang diutus utk menjadi penghadir terang Kristus bg dunia, dan menjadi pewarta kabar sukacita, kabar pembebasan.
Mengingat akan pemaknaan ini maka org membuat tanda salib dgn air kudus ketika hendak KELUAR/PULANG.
5. Inilah yg jauh lebih penting : penyadaran. TANDA SALIB dgn air kudus KETIKA MASUK ke dan KELUAR dari gereja bukan sekedar memenuhi kebiasaan, BUKAN OTOMATISME. Itu merupakan tindakan devosional yg kaya makna. Sayang sekali kalau orang yang membuat tanda salib tsb kurang (bahkan, tidak) menyadari: karena apa dan untuk apa tanda salib dgn air kudus itu dibuatnya sebelum dan sesudah Ekaristi.

6. MENEPUK DADA PADA SAAT DOA TOBAT – ARTINYA?
Jawaban : 
Bicara soal gerakan menepuk/menebah/memukul dada sebagai ungkapan tobat dan sesal (Ritus tobat), atau juga ungkapan rasa syukur sebagai orang berdosa yang beruntung mendapat kunjungan Tuhan (Anak Domba Allah), kiranya mengandung makna yang mendalam. Konteksnya adalah kita bicara soal tata liturgi dan gerakan2 liturgi dalam ritual gereja Katholik; jadi ini bukan soalnya siapa yang benar siapa yang salah, atau soal perlu atau tidak, sah atau tidak secara hukum gereja.
Yang penting disadari, dalam konteks liturgi kita ada gerakan umum yang mengacu pada tata liturgis yang baku, dan ada gerakan personal yang (seharusnya) mendukung dan membantu penghayatan liturgi yang benar. De facto gerakan personal menepuk dada itu ada dan sering dilakukan. Bahwa imam melakukannya, itu sudah jelas seperti yang disampaikan oleh teman Sonny Arends di atas beserta sumbernya. Bagi umat kiranya perlu menyadari makna tobat yang mendalam ini ketika melakukannya, supaya bukan sekedar ritual tanpa disadari. Dalam tradisi bangsa2 manapun juga, kalau orang menyesal, merasa bersalah, merasa tak pantas…yang ditepuk ya dadanya – simbol yang paling dekat dengan hati, sumber segala rasa salah dan dosa…Jadi orang tidak akan menepuk pantatnya atau lututnya untuk ekspresi yang satu itu he he… Ekspresi inilah yang mau diangkat dalam ritual liturgi gereja. Pengalaman sesal atas dosa yang harus dibangun sewaktu ritus tobat di awal, dan rasa syukur sebagai orang berdosa yang mendapat kemurahan kasih Allah pada waktu anak domba Allah, lebih manusiawi dan mendalam maknanya dalam gerakan menepuk dada (sambil sedikit membungkukkan badan) tanda kesadaran diri dan dosa. Jadi gereja tidak mengadopsi atau mengambil gerakan2 yang asing dan lain dari pada yang lain; tapi mengangkat dari kekayaan khazanah kehidupan sehari2 dan memberi makna ilahi di dalamnya sehingga membantu penghayatan kita lebih dalam.
Maka sebagai gerakan personal silahkan saja mengekspresikan diri dengan cara dan penghayatan yang sebenarnya seperti sudah banyak dijelaskan di atas, dan semoga semakin membantu pemahaman kita akan arti gerakan2 ritual dalam gereja kita.

7. TANDA SALIB KECIL DI DAHI , MULUT DAN DADA PADA SAAT BACAAN INJIL
Jawaban : 
Kiranya ada dua bagian yang ‘berbeda’..(atau mau dikatakan agak ‘terpisah’) antara mengucapkan:”Dimuliakanlah Tuhan” dan gerakan simbolis membuat tiga tanda salib kecil di dahi, di mulut dan di dada. Pada hematnya, ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan adalah jawaban/tanggapan umat atas seruan Imam: “Inilah Injil (suci) Yesus Kristus menurut….” Lalu umat menanggapinya dengan sadar dengan mengucapkan “dimuliakanlah Tuhan”. Jadi seruan umat itu bukan mengiringi gerakan tanda salib! Inilah saat kesadaran penuh kita diarahkan pada Tuhan yang telah memberikan WahyuNya melalui sabda Kristus yang tertuang dalam kabar baik/Injil yang dibacakan. Kesadaran ini kiranya disertai pula rasa syukur dan kesiapan pikiran, hati, dan mulut kita untuk merangkum sabda suci yang akan diterima dengan membuka diri sepenuhnya.
Oleh karena itu, sesudah mengucapkan “dimuliakanlah Tuhan” kemudian langsung DIIKUTI/DISUSUL dengan gerakan membuat tanda salib kecil di dahi, di mulut, dan di dada. Masalahnya, kedua gerakan ini sering menjadi hal yang ‘automatis’ dalam sikap liturgis kita sehingga tanpa sadar menggabungkannya; lalu seakan gerakan tanda salib (materia) itu dibarengi dengan ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan (forma). Ini sepertinya agak kurang tepat, selain-kalau anda jeli memperhatikan-juga bisa bertabrakan. Kalau serempak mengucapkan kata ‘dimuliakanlah Tuhan’ sambil membuat tanda salib, sering2 mulutnya lalu terganggu pas membuat tanda salib di mulut (kecuali yang bibirnya pake lipstik tebal lalu gerakannya tidak menyentuh bibir karena takut luntur lipstiknya he he..)
Maka, sepantasnya ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan’ itu merupakan ucapan tanggapan atas seruan Imam (ditujukan pada Imam yang berseru memperkenalkan Injil yang akan dibaca) dan bukan mengiringi gerakan membuat tiga tanda salib. Bukankah kurang sopan kalau ada orang memperkenalkan sesuatu yang penting, kita malah sibuk dengan aktivitas sendiri (membuat tanda salib)?? Jadi setelah kita menjawab seruan Imam, barulah berikutnya membuat tanda salib di dahi, mulut, dan dada sambil hening. Pada saat itu baik membangun kesadaran seperti kebanyakan teman2 di atas menjelaskan.
Intinya, karena ini di awal/sebelum Injil dibacakan, maka kesadaran yang dibangun adalah memohon kepada Tuhan untuk membuka dan menerangi pikiranku dengan terang Roh Kudus (tanda salib di dahi); lalu juga menjadikan mulutku pantas untuk mewartakan Sabda suci dan hanya akan mewartakan/mengucapkan yang baik2 saja seturut Sabda Suci (tanda salib di mulut); dan semoga Sabda itu sungguh meresap dan menjadi sumber kekuatan di dalam hati (tanda salib di dada).
Jangan khawatir akan menambah waktu lebih panjang saat melakukan dua hal ini berurutan/tidak berbarengan sekaligus. Mengucapkan kata ‘dimuliakanlah Tuhan’ lalu berikutnya membuat tanda salib, tidak akan menghabiskan waktu lebih dari lima detik sekalian itu memberi kesempatan cukup bagi Imam/Diakon untuk mempersiapkan diri tenang sebelum mulai membaca Injil suci.

2 komentar: