Senin, 22 Agustus 2011

PERJALANAN HIDUP YOHANES PAULUS II DAN KONSEP KESELAMATAN DI DALAM GEREJA


KESELAMATAN DI LUAR GEREJA MENURUT YOHANES PAULUS II DAN KEDUDUKAN GEREJA KATOLIK SEBAGAI PEWARIS SAH WAHYU KESELAMATAN ALLAH. Teman2 tema besar ini menghantar kita semua untuk lebih dekat janji keselamatan yang ditawarkan oleh Gereja kita. Tapi lebih penting adalah untuk menjadi jelas pemahaman kita selama ini tentang EENS itu sendiri. Akhir2 ini ada bgitu banyak teman-teman berdebat soal EENS itu sendiri tp hanya pada kulit luar saja, krn itu perkenankan saya untuk mencoba meringkas dan membagikan kepada kita semua; Sejarah EENS itu sendiri dan tentunya sejarah keselamatan yg diwariskan kepada kita semua oleh bapak Paus JP II.


 ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

I.1. DeskripsiPerjalanan Hidup Yohanes Paulus II: Upaya Memahami Latar Belakang Pemikiran Keselamatan Di Luar Gereja
Kita diajak untuk melihat riwayat hiclup Yohanes Paulus II, latar belakang pemikiran yang meliputi sejarah pemikiran extra ecclesiam nulla sallus,tokoh-tokoh Gereja dan konsill Vatikan II yang mempengaruhi Yohanes Paulus II serta pandangannya tentang keselamatan di dalam Gereja.

1.1.1. Kelahiran Sampai Masa Remaja
Yohanes Paulus II lahir di Wadowice, Polandia pada tanggal 18 Mei 1920,dengan nama Karol Wojtyla. Desa Wadowice 50 km dari kota Krakow. Wojtyla adalah ayahnya dan Emilia Ibunya berusia 40 tahun ketika mengandung Karol; satu usia yang tidak aman lagi menurut banyak orang untuk mengandung dan melahirkan, apa lagi Emilia pun menderita penyakit jantung dan sering kambuh. Namun Emelia tetap berani menanggung segala resiko sehingga lahirlah putera kedua yang kemudian diberi nama Karol. Ibunya meninggal dunia ketika Karol berusia 9 tahun. Karol dibesarkan dalam keluarga militer yang keras dan disiplin. Unsur kedisiplinan itu juga tertanam dalam kehidupan imannya Keluargan-ya adalah keluarga Katolik yang taat dan menerapkan kehidupan harian yang ketat bagi Karol dan saudaranya. Waktu untuk menghadiri Misa kudus, waktu sekolah dan study, saat makan siang, bermain, dan pekerjaan rumah, semuanya diatur secara terencana. Tak ada kata istirahat atau rekreasi bersama teman di luar jadwal karena jika terjadi maka akan ditegur dan disuruh pulang. Hal ini membuat Karol benar-benar menggunakan waktu bermainnya dengan sungguh-sungguh untuk bermain bola bersama teman-temannya di lapangan terdekat. Sejak kecil, bakatnya bermain bola telah membawa Karol berani keluar dari diri dan lingkungannya untuk bergaul dengan sesama teman sebaya tanpa pandang bulu. Bakat olahraga yang ia miliki membentuk pribadinya sedemikian rupa sehingga Karol mudah berteman dengan siapa saja tanpa memandang ras dan agama. Sikap toleransi Karol telah diasa sejak kecil karena keluarganya tinggal di sebuah apartemen dua lantai yang dimiliki oleh satu keluarga Yahudi. Hal ini menyebabkan Karol mudah berinteraksi dan menjalin persahabatan dengan orang-orang sekitar, terutama sikap toleransi dengan sesama. Karol bahkan memiliki seorang teman akrab keturunan Yahudi bernama Jerzy Kluger, satu hal yang mungkin saja tidak biasa karena persoalan ras yang masih sangat mengental pada massa itu.
Pada saat bersekolah pun Karol tidak pernah meninggalkan bakat olahraganya, bahkan mulai terlihat bahwa la tidak hanya jago bermain bola tetapi la juga dikenal handal bermain ski, renang dan mendaki gunung. Bakat-bakat ini mempertemukan Karol dengan banyak teman sebaya dari berbagai agama, bangsa dan ras yang berbeda. Pengalaman bersama keluarga yang tinggal pada apartemen orang Yahudi membuat Karol pandai menempatkan diri dan mampu bergaul dengan semua kalangan. Setiap kali ada pertandingan sepak bola antara anak-anak Katolik  melawan anak-anak Yahudi, Karol sering secara suka rela bermain untuk anak-anak Yahudi sebagai penjaga gawang karena biasanya tidak cukup jumlah pemain mereka. Jika pribadi Karol adalah tipe pribadi yang tertutup maka tentunya sulit bagi dia untuk melakukan hal ini, namun karena pribadinya yang terbuka, suka bergaul dengan siapa saja, tidak memilih teman, tidak berprasangka buruk, toleransi yang tingg, maka Karol tetap menikmati pergaulannya dengan siapa saja.
Pada masa remajanya, aktivitas Karol tidak berkurang, bahkan semakin meningkat. Di sekolah, Karol dikenal sangat menonjol, terutama dalam bidang sastra dan bahasa Polandia. la menemukan bahwa bakatnya bukan hanya olahraga tetapi juga puisi dan bermain peran. Lewat teater, Karol semakin luas mengenal orang dan semua itu membentuk pribadinya menjadi pribadi yang menerima siapa saja; ia memiliki hati yang penuh kasih dan selalu berusaha membahagiakan orang lain lewat teater. Teater adalah kata hidup bagi Karol. Pada tahun 1938, ketika berusia 18 tahun, Karol menyelesaikan pendidikan tingkat SMAnya di Marein Wadowita di Wadowice.

1.1.2. Dibangku Kuliah Sampai Meninggal: Bergaul Dengan Pemeluk Agama Lai
I.1.2.1. Mahasiswa Universitas Jagiellonian
Karol melanjutkan studinya ke universitas Jagiellonian jurusan bahasa Polandia. Selama di kampus, Karol tidak meninggalkan bakat-bakat seninya, sebaliknya semakin diperdalam. Pertemuan dengan banyak orang karena bakat seni membentuk pribadi Karol menjadi orang yang peka terhadap orang lain. la aktif dalam kegiatan sosial yang digelar di kampusnya. Studinya sebagai mahasiswa tidak berjalan lancar karena 2 tahun kemudian Jerman menginvasi Polandia pada tanggal 1 September 1939 sehingga kampus ditutup, para dosen dan mahasiswa ditangkap. Karol beruntung selamat dari penangkapan karena tidak ikut dalam pertemuan yang dibuat oleh pihak Jerman sebagai jebakan untuk menangkap kaum cendekia termasuk mahasiswa. Selama masa pergolakan itu, Karol bergumul dengan kenyataan pahit bahwa masyarakat bangsanya dianggap sebagai orang-orang yang kodratnya dilahirkan sebagai.pekerja kasar; sudah cukup bila tingkat kehidupan mereka rendah dan orang Polandia sebagaimana juga orang Yahudi lebih rendah dari manusia sehingga tidak mempunyai hak untuk hidup. Batin Karol sebagai mahasiswa bergolak dan mempertanyakan soal keselamatan yang seharusnya tersedia sama untuk semua manusia. Situasi ini membawa Karol untuk ikut memikirkan keselamatan orang-orang sebangsanya termasuk orang Yahudi. la dengan berani masuk ke kota yang dikuasai serdadu Jerman, berusaha membawa keluarga-keluarga Yahudi dari gheto, mencarikan identitas baru dan menyembunyikan mereka. Segala resiko rela is hadapi untuk menyelamatkan banyak keluarga Yahudi dari ancaman hukuman mati. Beberapa dosen yang selamat dari penangkapan membuka universitas bawah tanah dan para mahasiswa dikumpulkan dalam kuliah sore secara sembunyi-bunyi. Kesempatan ini digunakan oleh Karol untuk kembali sebagai mahasiswa dan untuk menutupi identitas mahasiswanya maka Karol bekerja sebagai pemecah batu di tambang parit perusahan kimia Solvoly. Pekerjaan lain mengerti posisinya sebagai mahasiswa sehingga memberikan kepada Karol pekedaan yang lebih mudah yakni pembantu mandor. Francizek Labus adalah mandornya, pernah berkata --Karol engkau harus menjadi imam. Engkau menyanyi dengan bag•us sebab punya suara bagus dan engkau akan jadi baik. Dalam situasi sepern ini keyakinan yang kuat terhadap agama ditanamkan dalam diri Karol dan la tidak pernah lupa dengan nasehat polos itu. Setiap hari Karol berhadapan dengan penderitaan dan kemiskinan, laki-laki maupun perempuan kering kerontang, orang-orang dibawa ke tempat yang hanya diketahui oleh Tuhan untuk dieksekusi mati. Setiap hari orang tercekam ketakutan dan bertanya­-tanya tentang keselamatan dirinya dan keluarganya. Dalam suasana seperti inilah pribadi Karol terbentuk menjadi pribadi yang peduli dengan keselamatan orang lain sekaligus memperteguh imannya akan Kristus sebagai satu-satunya pemberi hidup. Pada bulan-bulan di pertambangan dan sebagai mahasiswa bawah tanah itulah, mata Karol terbuka pada kebenaran yang selama ini tidak dilihatnya bahwa manusia memerlukan teposeliro yang amat luas sekali, perlu kepekaan untuk kemanusiaan, hormat pada kerja keras, kerinduan untuk melayani dan cinta pada kehidupan.

1.1.2.2. Menjawab Panggilan Tuhan Menjadi Bagian Tertinggi Dari Hirarki Gereja
A. Masuk Seminari
-Tanda pertama dari panggilan Karol adalah ketika menjadi siswa di Gymnasium dan dipercaya oleh guru agama Pastor Edward Zacher untuk mengucapkan selamat datang kepada Uskup Agung. Uskup Agung terkesan oleh kefasihan Karol menyampaikan ucapan selamat datang dalam bahasa Latin yang lancar sehingga Uskup bertanya kepada Pastor Edward Zacher perihal cita-cita Karol setelah lulus dan jawabannya adalah Karol akan belajar filologi Polandia. Dengan sedikit kecewa Uskup mengatakan bahwa "sayang dia tidak memilih teologia". Pada masa itu, panggilan Imamat Karol belum matang bahkan tak terpikirkan, tetapi perhatiannya mulai diarahkan untuk sedikit melihat satu jalan panggilan yang kelak membawa dia untuk mengeluarkan sendiri statement tentang keselamatan. Pada tanggal 18 Februari 1941, ayah Karol meninggal pada usia 62 tahun karena sakit. Karol yang bekeria sebagai pemecah batu benar-benar merasa kehilangan dan terpukul karena ia tidak berada di samping ayahnya ketika ayahnya menghembuskan nafas terakhir sehingga setiap hari Karol pergi ke makam ayahnya untuk berdoa. Hari-hari itu adalah masa di mana Karol berada dalam pergumulan untuk menjawab panggilan Tuhan. Peneguhan iman dari mandornya bahwa ia harus menjadi imam, kehidupan doa ayah-ibunya yang begitu membekas, pengalaman tidak ditangkap sebagai mahasiswa, diserempet lory Jerman tetapi selamat, mempertebal keyakinan Karol bahwa sebenarnya la bisa saja tewas tetapi Tuhan punya rencana lain dalam hidupnya. Di atas semua itu, kematian ayahnya sangat mempengaruhi keputusannya untuk masuk seminari. Salah seorang yang memberi perhatian pada masa-masa sulit itu adalah Pastor Malinski. Akhirnya Karol memutuskan untuk masuk Seminari yang pada saat itu dikelola secara kladestin atau secara sembunyi-sembunyi (Seminari bawah tanah) dengan pimpinan Uskup Agung Krakow Kardinal Adam Sapieha dan yang menjadi Rektor adalah Pastor Jan Piwowarczyk.
Pergumulannya dalam hubungan dengan keselamatan untuk semua orang baik Katolik maupun non Katolik bermula ketika Karol bertugas sebagai penerima tamu di Seminari. Seorang serdadu Rusia datang mengetuk pintu dan Karol menemuinya sambil bertanya perihal maksud serta tujuan kedatangannya. Serdadu itu menjawab bahwa ia ingin masuk Seminari. Satu jawaban yang membuat Karol terbengong karena datang dari seorang serdadu atheis. Karol menerima dan berbincang-bincang cukup lama dengan serdadu itu. Pertemuan dengan serdadu itu memberikan pelajaran yang agung tentang Tuhan bahwa Tuhan dapat masuk dalam pikiran manusia, dalam situasi yang sangat bertentangan. Jika demikian maka keselamatan itu pun ada dan tersedia bagi mereka, orang-orang seperti serdadu Rusia itu.  Mata Karol terbuka dan kejadian itu memberikan kesan yang dalam pada Karol; ia tidak pernah melupakan maknanya bahwa manusia tidak akan pernah hidup tanpa Tuhan, jika ia ingin menjumpaiNya dlan jika manusia tidak pernah hidup tanpa Tuhan maka keselamatan itu pun ada untuk mereka bahkan yang non Katolik sekalipun.

B. Menjadi Pastor
Karol ditahbiskan Imam oleh Karidnal Sapieha di kapel pribadi Uskup Agung pada tanggal 1 November 1946 tepat pada pesta semua orang kudus karena Karol akan segera berangkat ke Roma untuk melanjutkan study. Misa pertama Pastor Karol Wojtyla dirayakan pada peringatan arwah tanggal 2 November 1946 di Kripta (makam) St Leonardus di Katedral Wavel Krakow, kemudian di Gereja Santo Stanislaus Kotska pada minggu 11 dan Misa pada minggu III di paroki Bunda Maria dipersembahkan di Wadowice. Beliau juga merayakan misa untuk menghormati St Stanislaus dan untuk teman-temannya yang tergabung dalam teater Papsodi dan organisasi persatuan klandestin, di mana Pastor Karol adalah bagian dari mereka selama masa penjajahan. Teman-temannya dalam teater Papsodi dan organisasi persatuan klandestin adalah orang-orang yang tidak semuanya Katolik, namun Pastor Karol mempersembahkan misa pertama untuk menghormati dlan untuk keselamatan jiwa mereka karena beliau memiliki keyakinan bahwa keselamatan dari Allah pun tersedia bagi mereka.
Beberapa minggu kemudian Pastor Karol berangkat ke Roma untuk belajar filsafat dan teologi pada institut Angelicum yang diasuh oleh para imam Dominikan. Selama study, pastor Karol memberikan perhatian untuk para buruh Polandia yang bekerja di Prancis dan mengalami kesulitan. Keselamatan para buruh yang tidak semuanya Katolik bahkan ada yang atheis ini menjadi perhatian serius pastor Karol. Sehingga ia ke Prancis dan mencoba mengendorkan ketegangan antara penguasa dan para imigran Polandia yang menjadi buruh di sana. Dalam masa study itu, Pastor Karol menunjukkan respek yang dalam untuk agama-agama non Katolik terutama toleransinya untuk paham keselamatan yang dianut. Dua tahun kemudian Pastor Karol telah menyelesaikan studinya dan meraih gelar doktor teologia dengan predikat summa cum laude. Sekembalinya ke Polandia, pastor Karol berhadapan dengan kenyataan bahwa komunisme menguasi negaranya dan berusaha menghapus Tuhan dari kehidupan masyarakat Polandia. Bekal yang dibawa Pastor Karol untuk menghadapi komunisme adalah kesadaran yang dalam tentang sifat universal perutusan imamat yang kelak akan terungkap secara resmi dalam Lumen Gentium (LG) Konsili Vatikan II bahwa bukan hanya Uskup tetapi semua Imam juga harus prihatin untuk Gereja seluruhnya dan merasa bersatu dengannya sertabertanggungjawab untuk karya keselamatan yang ada dan diemban oleh Gereja universal. Pastor Karol yang adalah doktor muda ditugaskan sebagai Pastor pembantu di paroki Niegowic selama 1 tahun, kemudian dipindahkan ke St Florianus di Krakow untuk 1 tahun masa tugas, dan selanjutnya dipercaya menjadi dosen etika dan teologi. Sebagai usaha perlawanan terhadap komunisme, pastor Karol mengumpulkan anak-anak remaja, kaum muda, mahasiswa, untuk diajak olahraga, ke danau, mendaki gunung, dan di sana ia berbicara kepada mereka tentang Tuhan, ia menguatkan mereka bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang benar. Diskusi tentang Tuhan itu menjadi lebih teratur ketika la dipindahkan ke Krakow dan menangani pastoral universitas yang berpusat di Gereja St Ana Krakow. Di sana ia memberikan ceramah kepada kaum muda di universitas Lublin mengenai eksistensi Tuhan dan sifat roham dari jiwa manusia, sesuatu yang sangat ditentang oleh rezim komunis kala itu. Satu hal yang menarik yakni bahwa la pernah menyutradarai drama yang dibuatnya sendiri "the expected guest", bahkan menjadi pemain utamanya. la memerankan tokoh seorang pengemis yang akhirnya menjadi Katolik. Hal ini menggambarkan bagaimana refleksi dalam pastor Karol tentang iman Katolik sebagai satu-satunya Gereja yang menawarkan keselamatan yang benar dan fundamental, sebagai titik berdiri untuk berbicara tentang keselamatan di luar Gereja.

C. Menjadi Uskup Dan Kardinal
Karir pastor Karol dalam hirarki Gereja pun menanjak pesat. Pada tanggal 4 Juli 1958, beliau diangkat oleh Paus Pius XII menjadi Uskup pembantu Keuskupan Agung Krakow clan ditahbiskan pads tanggal 28 September 1958. sebagai Uskup, Karol pernah menerbitkan buku yang sangat terkenal "cinta dan tanggungjawab." Dalam buku itu, Uskup Karol Wojtyla menunjukkan rasa hormat dan respek yang dalam untuk ajaran-ajaran tradisional Gereja Katolik mengenai perkawinan. Uskup Karol juga berkeyakinan bahwa perkawinan yang benar sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik, akhirnya membawa mempelai untuk memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Paus Paulus VI kagum atas cara pikir Uskup muda Karol dalam mempertahankan ajaran-ajaran tradisional Gereja tentang perkawinan. Kefasihannya berbicara, ide-ide yang cemerlang. rasa tanggung jawab yang dalam terhadap Gereja membuat Uskup Karol terlihat istimewa karena memiliki kelebihan. Satu terobosan yang dibuat Uskup muda ini yakni mempraktekkan pesta oplatek yakni roti tanpa ragi yang dikuil-kuil untuk dibagikan satu sama lain sebagai tanda cinta dan persahabatan menjelang Natal. Uskup Karol melakukan ini agar la tetap dekat deng'an umatnya karena ia cemas sikap dan posisinya sebagai Uskup membawa dirinya jauh dan umat. Dalam praktek selanjutnya, pesta oplatek itu pun diterapkan bagi orang-orang tidak beriman seperti kelompok dokter, artis. ahli hukum. mahasiswa, buruh, pegawai dan para cendekiawan yang sebagian besar penganut maxis karena beliau ingin membawa siapa saja dalam roti cinta. Satu bukti bahwa iman kekatolikannya tidak membuat Uskup Karol menjadi orang yang ekslusif.
Ketika Konsili Vatikan II, Uskup Karol adalah salah satu Uskup dalam rombongan Kardinal Wyszynski dari Polandia. Sejak awal sidang, Uskup Wojtyla telah diperhatikan karena kepandalannya berbahasa asing yang lancar dan karena sernangat dan kemudaannya. Beliau ambil bagian dalam diskusi tentang liturgi, sumber-sumber wahyu dan secara khusus sumbangan pernikirannya didengarkan dalam rangka mempersiapkan konstitusi Gereja Lumen Gentium. la diperhatikan oleh kuria karena mampu mengkomunikasikan ide-ide yang cemerlang dalam bahasa Latin sebagai bahasa resmi Gereja. Dalam sidang itu, Uskup Karol juga menyumbangkan gagasan tentang kebebasan beragama.
Pada tanggal 13 Januari 1964, Uskup Karol diangkat oleh Paus Paulus VI menjadi Uskup Agung Krakow. Sebagai Uskup Agung nasehat-nasehatnya juga didengarkan oleh Paus Paulus VI dalam menuliskan Humane Vitae. Tanggal 26 Jun 1967 Paus Paulus VI kembali mengangkat Uskup Agung Karol sebagai Kardinal Gereja Katolik Polandia. Saat itu adalah masa-masa yang sulit untuk Gereja Katolik Polandia karena tekanan pernerintah komunis. Berhadapan dengan situasi ini, Kardinal Karol membawa Gereja Polandia sebagai satu sarana pengungkapan rasa nasionalisme warga dengan menunjukkan rasa hormat yang tinggi atas HAM dan kerendahan hati sebagai pintu masuk dialog dengan kaum marxis, juga lewat tulisan­tulisannya tentang etika, ia menuliskan posisi Gereja sebagai konstitusi membawa keselamatan yang benar tanpa merendahkan penguasa yang tidak beragama. Beliau berusaha mengarahkan ekspresi warga secara damai sehingga tidak memancing reaksi brutal pemerintah.

D.  Masa Kepausan Hingga Wafat
Tanggal 16 Oktober 1978, Kardinal Karol Wojtyla dipilih menjadi Paus ke 246 menggantikan Yohanes Paulus I. Nama yang ia pilih adalah Yohanes Paulus II dan ia adalah Paus Slav yang pertama dan Paus non Italia pertama sejak 455 tahun; juga Paus termuda, 58 tahun dalam 132 tahun terakhir. Non abbiate Laura! (jangan Yakut) adalah seruan pertamanya dalam bahasa Italia. Ungkapan ini juga menjadi kata kunci yang beliau hidupi selama masa-masa kepausannya, termasuk ketika ia melihat keselamatan melewati batas-batas kuasa Gereja. Berbekal seruan "jangan takut", Paus Yohanes Paulus II mengubah wajah Gereja menjadi lebih dinamis, membiasakan Gereja memasuki perdebatan-perdebatan sosial kontemporer, tidak membuang getto religious yang arogan dan ekslusif, menerobos egoisme, subyektivisme dan kesendirian religius Berbekal pahamnya tentang keselamatan di luar Gereja, dengan bersandar pada Lumen Grentium dan Nostra Aetate. Paus ini melanglang buana mengunjungi dan membuka dialog dengan para pemimpin agama lain. Anjuran "Jangan Takut" adalah senjata ampuh ketika dalam kunjungan perdana ke Polandia, la membakar semangat lautan manusia yang hadir di hadapannya dengan khotbah dan itulah detonator penghancur rezim komunis di Polandia pada mulanya dan terus melebar ke Eropa Timur selanjutnya ke Uni Soviet, sehingga kebebasan beragama pun dijamin.
Gorbachev dengan penuh kebesaran hati mengatakan apa yang terjadi di Eropa Timur tidak akan mungkin terjadi tanpa kehadiran Paus Yohanes Paulus II, "tanpa peran besarnya, bahkan dalam bidang politik yang ia mainkan di panggung dunia."
Sebagai seorang Paus, Yohanes Paulus II, adalah pribadi man of dialogue, dan tidak segan-segan ia membuka diri untuk mengakui bahwa di luar Gereja pun keselamatan itu tersedia. Dengan rendah hati beliau mengundang dan mengajak berdialog untuk menjadi titik temu dengan sesama Gereja Kristen agar saling mengenal dan penghormatan. Selain itu dengan agama non Kristen pun ia menjadi jembatan bahkan ia sendirilah yang pertama melangkah dan mulai mernbuka diri.
Pada tahun 1985, la mengunjungi Maroko dan secara khusus bertemu dengan ribuan kaum muda Islam. Ketika umat Kristen sedang gencar-gencarnya dikekang kebebasannya di Sudan, la dengan berani berkunjung ke sana pada tahun 1993 untuk memberikan peneguhan sekaligus berusaha menembus kebekuan yang ada. Lebih mencengangkan lagi, ia meminta izin untuk masuk dan berdoa di Mesjid dalam kunjungannya ke Suriah, Damascus tahun 2001. la pun dengan penuh kasih menyetujui pembangunan Mesjid di Roma. Apa yang diperbuat dalam kunjungan-­kunjungan itu menunjukkan bentuk penghormatan dan penghargaan Bapa Suci bahwa dalam Islam pun keselamatan itu tersedia.
Hal yang sama ia lakukan ketika untuk pertama kalinya seorang Paus mengunjungi dan berbicara di dalam Gereja Protestan pada tahun 1983. Bahkan ketika ia berkunjung ke Sinagoga Yahudi di Roma tahun 1986 untuk berdoa dan berdialog orang berkomentar bahwa dibutuhkan beribu-ribu tahun untuk sampai ke Sinagoga itu. Secara khusus ia mengunjungi orang Yahudi yang disebutnya `Samara Tua' dan berdoa di Tembok Ratapan; menulis dan menyisipkan doa di tembok itu sebagaimana kebiasaan orang Yahudi Lawatannya ke Kuba tahun 1998 menjadi tonggak sejarah diberikannya kebebasan beragama untuk setiap penduduk negeri itu. la juga memprakarsai pesan dan doa bersama tokoh-tokoh lintas agama sedunia untuk perdamaian di Assisi pada bulan Oktober 1987. Berbagai terobosan Yohanes Paulus II ini menunjukkan bahwa Gereja Katolik tidak lagi monopoli keselamatan tetapi mengiakan bahwa di luar Gereja pun keselamatan itu tersedia.
Yohanes Paulus II meninggal pada tanggal 2 April tahun 2005, pukul 9.37 di Roma (03.37 WITH) pada usia yang sangat lanjut yakni 85 tahun. Salah satu komentar yang menggambarkan hormat yang dalam berhubungan dengan penghargaannya untuk keselamatan di luar Gereja datang dari presiden Polandia Aleksander Kwasniewski, "Seorang Paus yang besar-putera paling baik negeri kami, Bapa Suci, bapak yang baik bagi kita sekalian baik yang beriman maupun yang tidak beriman, dari pengikut agama yang macam ragam: itulah segalanya!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar